Selasa, 14 Oktober 2014

FF (Waiting for Happiness) Han Hyo Joo~Jung Il Woo

Waiting for Happiness
Cast:    Han Hyo Joo
            Jung Il Woo
            Go Hye Sun
            Moon Chae Won
Genre : Romance
 Author : Sung Young

Annyeong :) Kali ini saya memposting ff dengan tokoh Han Hyo Joo dan Jung Il Woo. Berdasarkan pengalaman pribadi, susah banget buat nyari ff dengan tokoh pemain drama korea. Kebanyakan sih ff dengan tokoh penyanyi. ff ini murni hasil pemikiran saya.. Selamat membaca~ 


Desiran lembut mengalir dalam darahku
Bagaikan sengatan-sengatan listrik yang menggelitik tubuhku
Mengapa seperti itu? Aku tak tahu menahu
Aku tak mengerti apapun tentang itu, aku tidak tahu
Hingga tersadarlah diriku
Aku mencintaimu, tak peduli apapun yang kau lakukan tuk sakiti aku

Aku hanyalah seorang yang bodoh
Yang tak bisa melihat dengan benar
Yang selalu mengelak pada kebenaran
Hingga aku menyadari
Aku sakit ketika kau pergi
Aku sakit ketika kau bersedih


Han Hyo Joo POV
Tiga tahun adalah waktu yang cukup lama bagiku. Cukup lama karena selama tiga tahun ini aku hidup dalam ketidakpastian cinta yang semu. Entahlah aku pun bingung aku harus bagaimana. Ketika aku berusaha melepasmu kau malah seolah memberikan harapan untukku. Membuat ku selalu goyah, membuatku selalu bingung harus bagaimana. Dan kau lah satu-satunya namja yang membuatku menangis dan tertawa di waktu yang hampir bersamaan. Jung Il Woo, ingin aku berteriak di depan mu dan mengatakan semua yang aku rasa karenamu. Bahkan aku ingin memukulmu, Il Woo. Karena kau tak pernah peduli dengan rasa sakit dan sesak yang aku rasakan karena mencintaimu.
“Hyo Joo-ah kenapa kau melamun saja, cepat kerjakan soal di depan” Ucapan guru ku membuyarkan lamunan ku.
“Nde seongsaengnim” ucapku lirih.
“Hye Sun-ah bagaimana caranya?” aku bertanya pada sahabat baik ku.
“Molla siapa suruh kau melamun kan Joong Ki terus” jawab Hye Sun.
Ahh,.. jawaban Hye Sun membuatku sebal. Kenapa dia tidak mau memberi tahu ku
Aku pun maju dan mengerjakan soal itu. Untunglah aku masih mengingat cara mengerjakan soal kimia itu jadi aku tidak perlu mendapat hukuman dari guruku.
“ Go Hye Sun awas kau !!” gerutu ku dalam hati
                                                            --00--
“Yaa!! Hye Sun-ah kenapa kau tidak membantuku tadi?” tanya ku kesal
“Mianhae Hyo Joo-ah.. Tapi aku benar-benar kasihan padamu. Aku ingin kau melupakan Il Woo dan hidup bahagia dengan orang lain”
“Tapi, aku tidak bisa Hye Sun-ah. Aku sudah mencoba berkali kali untuk melupakannya tapi tetap tidak bisa. Kau kan tahu, Il Woo adalah cinta pertamaku Hye Sun-ah”
“Tapi ia tak pernah menganggap mu, Hyo Joo. Dia tak pernah mencintaimu. Lalu kenapa kau masih saja memperjuangkan orang sepertinya?”
“Sudahlah Hye Sun-ah kau tak pernah mengerti”
Aku berlalu meninggalkan sahabatku. Sungguh, aku tidak ingin bertengkar lebih hebat lagi dengan Hye Sun hanya karena masalah cinta pertama ku.
                                                            --00--
Aku melangkah perlahan menyusuri jalan berbatu ini. Aku hanya menundukkan kepalaku dan memandangi warna-warni bebatuan yang disusun rapi di jalan yang tengah aku pijaki. Sesekali angin  berhembus memainkan ujung rambutku, seperti tengah mengejek atas kesendirianku. Aku tak menghiraukan orang-orang yang tengah berbahagia di taman ini, yang aku lakukan hanyalah merutuki diriku yang begitu bodoh ini. Entah sihir apa yang kau berikan padaku, Il Woo. Hingga aku menjadi seperti ini.
Aku sudah lelah berjalan dengan terus menyesali diriku.  Aku putuskan untuk duduk di bawah pohon sakura di tengah taman itu. Namun baru beberapa langkah aku berjalan, sesuatu yang tak asing tertangkap dalam pandanganku. Dia…. Ya, dia disana bersama dengan seorang yeoja. Dan mereka tampak bahagia sekali. Il Woo sedang tiduran dengan kepala yang berada dalam pangkuan gadis itu.
Aku memilih pergi, segera aku menjauh dari tempat itu sebelum hatiku semakin tersayat. Mungkin benar, aku harus benar-benar menyerah kali ini. Sudah berapa gadis yang dipacari Il Woo ketika dia memberi harapan dalam hidupku? Entahlah, 5 atau 7 ? Aku bahkan tidak ingat. Baiklah, aku bisa!! Hyo Joo, kau pasti bisa melupakan Il Woo!!
--00--
Jung Il Woo POV
Kenapa dia beberapa hari ini tak mengirim sms untukku? Bukankah hampir setiap hari dia selalu mengirim sms untukku? Dan entah kenapa rasanya aku merindukannya…
Hyo Joo, aku merindukanmu….
Jung Il Woo, apa yang kau pikirkan? apa kau sudah gila? Kau pasti hanya sekedar kesepian saja. Aku langsung menghapus sms yang hendak aku kirimkan pada Hyo Joo. Aaarrgghh.. ini semua tidak berguna. Aku mengacak-acak rambutku dengan asal. Baiklah, baiklah… Aku akan mengirim sms untukmu.
*Flashback*
“Apa yang sedang kau lakukan? Bukankah sedari tadi kau belum istirahat? Lebih baik kau segera beristirahat, kau bisa sakit jika kau tidak makan”
“Hyo Joo.. kau ini kenapa? Kenapa kau bahkan lebih perhatian dibanding kekasihkuku, hah?? Aku sedang sibuk sekarang, aku tidak punya waktu lagi. Aku harus segera menyelesaikan gambar ini. Ini adalah gambar yang akan kuberikan pada kekasihku. Jadi berhentilah menggangguku!”
“Maaf, maafkan aku. Yasudah, lanjutkan saja kau menggambar. Aku hanya mengkhawatirkanmu”
Betapa bodohnya aku karena terpancing emosi sampai membentakmu seperti itu. Bahkan aku lebih bodoh lagi karena dulu tak menyadari perubahan ekspresimu Hyo Joo, dan aku tidak meminta maaf bahkan setelah membuatmu menangis hari itu.
“Il Woo, tunggu sebentar. Tak bisakah kau berjalan lebih pelan?”
“Hyo Joo, aku harus buru-buru.. Aku tidak mau membuat yeojachinguku marah. Kau sendiri kan tahu, aku sudah bersusah payah demi mendapatkannya. Jadi tolong mengertilah Hyo Joo”
“Il Woo, tung………….. ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu.”
Bahkan saat itu aku lebih bodoh lagi, aku meninggalkanmu begitu saja hanya demi gadis yang tak pernah benar-benar menerimaku apa adanya. Hadiah yang kau letakkan di lokerku itu sungguh aku menyukainya Hyo Joo. Bahkan kau lebih tahu barang apa yang aku inginkan melebihi orang lain.
--00—
Han Hyo Joo POV
Drrrtt…. Aku membuka layar ponselku. Tertera dilayar ponselku nama seseorang yang sangat tak kuharapkan smsnya itu. Arrgghh… Jung Il Woo, kenapa kau mengirim pesan disaat yang tidak tepat? Aku membukanya dengan malas.
“Hyo Joo, sedang apa kau? Aku bingung harus melakukan apa”
Apa? Kau bingung harus melakukan apa? Cihh, kenapa kau tak merayu yeoja chingumu saja sana. Ucapku dengan ketus. Sudah beberapa hari aku tak mengirimkan sms padanya. Ya, biasanya aku selalu mengirimkan sms untuknya. Kalau aku pikir-pikir lagi aku memang seperti wanita murahan, dan sungguh aku mengutuk diriku yang bertindak begitu. Tapi tetap saja aku kalah dengan nafsuku, aku tidak bisa mencegah diriku.
 Aku tak membalas pesannya. Aku memilih membaca fanfiction untuk mengalihkan perhatianku. Menyibukkan diri menjadi satu-satunya cara agar aku bisa menahan diri untuk tidak membalas pesannya.
Hikkss… Air mataku menetes dengan deras, tak terasa sudah beberapa ff yang aku baca dan semua ff itu bergenre sad romance. Memang bukan pilihan yang baik membaca ff bergenre sad romance ketika aku sedang sedih seperti ini. Namun sama halnya dengan orang-orang yang memutar lagu sedih ketika mereka sedang galau, aku menikmati tetes demi tetes air mata yang mengalir dari mataku.
Ponselku kembali bergetar
“Hyo Joo, apa kau marah? Tumben sekali kau tidak membalas smsku”
Aku terpaksa membalas pesannya. Karena aku benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan semua ini. Apakah aku harus mengungkapkan semuanya saat ini?
“Kenapa kau begitu?”
“Begitu? Begitu bagaimana?”
“Kalau kau bingung harus berbuat apa, rayu saja yeojachingumu itu!”
“Hahaha.. Apa kau cemburu Hyo Joo ?”
“Cemburu? Apa?”
“Aku tahu kau pasti cemburu kan?”
“Hah.. dasar! Namja macam apa kau ini? Kau tahu kalau aku cemburu?”
“Tentu, semuanya tergambar jelas”
“Kalau kau tahu lalu kenapa kau begini? Apa kau sengaja mau mempermainkanku?” Mataku mulai memanas
“Aku juga tidak tahu mengapa dan harus bagaimana. Yang aku tahu aku menyukainya, tetapi aku juga menyukaimu mungkin”
Apa? Jadi kau selama ini memang mempermainkanku? Seharusnya aku sudah tahu pasti.
Lalu, tidak bisakah kau memilih? Apa kau tahu kau menyakitiku?”
“Aku tidak bisa memilih, maaf.. aku tahu aku telah cukup banyak menyakitimu. Aku benar-benar menyesal Hyo Joo”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Aku tidak tahu, itu semua terserah padamu. Tapi aku minta padamu untuk bertahan. Dan biarkan waktu yang menjawab semua ini”
Aku benar-benar tidak bisa membendung air mataku lagi, air mataku telah menetes dengan deras, bahkan melebihi hujan lebat  yang turun malam ini. Aku menangisi diriku sendiri, menangisi diriku yang begitu bodoh ini. Bukankah sejak awal aku sudah tahu jika dia memang hanya mempermainkanku? Tapi aku malah menutup mata dan telingaku, terlalu menikmati keindahan yang semu ini. Seharusnya aku sudah sadar sejak awal ketika aku merasa dekat dengannya dan terlalu optimis bahwa dia akan menyatakan cintanya padaku tetapi beberapa hari setelahnya aku mendengar kabar bahwa Il Woo sedang berpacaran dengan Chae Won, salah satu gadis yang mengikuti ekstrakulikuler yang sama dengan Il Woo. Dan yang membuatku sakit adalah aku tidak pernah tahu jika Chae Won dekat dengan Il Woo, bahkan Il Woo tidak pernah bercerita sedikitpun mengenai Chae Won kepadaku. Dan aku semakin menyadari, aku memang gadis yang bodoh, sangat bodoh!! Aku menangis sejadi-jadinya. Sakit sekali rasanya, rasanya seperti aku memotong jariku sendiri dengan pisau yang tumpul.
                                                            --00—

Ini malam minggu, atau lebih tepatnya sabtu malam bagiku? Hahaha.. Aku menertawai diriku sendiri. Ahh..sudahlah. Lebih baik aku menikmati keindahan Seoul malam ini. Aku bisa melihat dengan jelas dari atas sini, kerlap-kerlip lampu dari kendaraan maupun gedung-gedung yang indah. Ditambah lagi, bulan purnama sedang memancarkan keindahannya. Bulat sempurna. Tak terasa ada sesuatu yang membasahi pipiku, tetapi aku tetap tersenyum. Semua ini terasa damai bagiku.
Malam semakin larut, aku putuskan untuk pulang. Aku berjalan dengan terhuyung, entah kenapa rasanya aku mengantuk sekali, sungguh tak tertahankan. Akhirnya aku sampai di halte, tinggal menunggu bus lalu aku akan segera sampai rumah dan pergi tidur. Tapi kenapa busnya lama sekali? Ini sudah setengah jam dan menunggu seperti ini membuatku semakin mengantuk, hingga tak kusadari mataku terpejam.
            Aku merasa seperti ada sesuatu yang menyentuh bibirku, dan rasanya hangat. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku.
Jung Il Woo POV
Setahun sudah sejak kejadian malam itu. Malam ketika Hyo Joo mengutarakan rasa sakitnya padaku. Aku begitu bodoh, kemana saja aku selama ini hingga tak pernah memandang gadis yang selalu ada untukku? Penyesalan memang selalu datang terlambat. Ya, terlambat.. Karena ia telah memutuskan untuk berhenti, berhenti menunggu laki-laki bodoh sepertiku. Dia menghilang begitu saja, beberapa bulan setelahnya aku baru tahu jika ia pindah ke SMA khusus perempuan. Aku tahu, ia menghindariku. Dan itu semua berhasil, aku tak pernah bertemu dengannya selama 1 tahun ini. Hingga aku tak sengaja melihatnya sedang tertidur dihalte. Aku ragu untuk menghampirinya, tetapi hatiku menggerakkan kedua kakiku untuk melangkah mendekatinya. Oohh.. Kau cantik sekali Hyo Joo, apalagi dengan sinar rembulan yang menyinari wajahmu. Aku tak tahu mengapa aku tiba-tiba melakukan ini. Aku mendekatkan wajahku lalu mengecup bibirnya.
Ia terbangun dari tidurnya, ia nampak kaget sekali. Segera ia mendorong tubuhku menjauh darinya.
“Apa yang kau lakukan Il Woo?” tanyanya dengan napas tersengal karena menahan air mata.
“Maafkan aku. Tapi aku merindukanmu, Hyo Joo. Sudah satu tahun semenjak terakhir kita bertemu, dan kau tak pernah menghubungiku. Sungguh itu menyiksaku……” aku terdiam, tak bisa melanjutkan kata-kataku.
“Lalu apa yang kau inginkan dariku sekarang? Bukankah kau masih bersama Chae Won?”
“Tidak, aku sudah putus dengannya setahun yang lalu”
“Ohh..bagus sekali. Lalu kau menemuiku untuk mengobati lukamu itu? Sebagai pelarianmu?”
“Bukan Hyo Joo, aku menemuimu bukan untuk itu. Tapi aku telah menyadari kesalahanku selama ini. Maafkan aku karena selama ini aku mencoba menyangkal perasaanku. Sebenarnya sejak 2 tahun yang lalu aku mulai menyukaimu, tapi aku menyangkalnya karena aku terlalu takut bahwa aku akan menyakitimu”
 “Tapi apa yang kau lakukan kepadaku selama ini lebih menyakitiku” Air matanya menetes bersamaan dengan kalimat itu.
Hatiku sakit sekali melihatnya menangis seperti itu. Aku menghapus air matanya dengan tanganku. Aku tak kuasa melihatnya merasakan sakit seperti ini.
“Maafkan aku. Maafkan aku yang tak pernah mempedulikanmu dulu, maafkan aku yang tak pernah memandangmu.” Aku memeluknya. Ia menangis dalam pelukanku.

“Aku memaafkanmu, dan waktu memang terus berlalu dua tahun ini, tetapi tidak dengan cintaku” ia mengatakannya dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Senyum yang sangat spesial.

Senin, 29 September 2014

Cerpen Korea_Islami : Buku Petunjuk

Buku Petunjuk


Jiwaku menanyakan tentangMu
KeberadaanMu…
Ketika kau berikanku buku petunjuk
Hingga aku lebih mengenalMu melalui gadis itu

Sore itu, taman Namsan begitu ramai. Orang-orang menikmati sejuknya udara musim semi dan kehangatan bercengkrama dengan keluarga. Di sudut taman, Lina, seorang gadis berwajah Melayu sedang berkutat dengan laptopnya. Entah apa yang ia lakukan, namun sedari tadi jemarinya sibuk menari-nari di keyboard laptopnya. Gadis itu sedang terhanyut dalam dunianya sendiri, hingga ia tak menyadari bahwa awan-awan gelap telah berbaris rapi menutupi sinar sang mentari.
Teess! Setitik air mengenai telapak tangannya, barulah ia sadar bahwa hujan telah turun. Ia bergegas memasukkan laptop ke dalam tasnya lalu segera berlari mencari tempat berteduh. Angin memainkan ujung kerudungnya seperti mengejeknya. Ia berhasil sampai ditempat berteduh, tetapi pakaian yang dikenakannya sudah terlanjur basah kuyup.
Astaghfirullahaladzim.. Ya Allah, semoga aku tidak sakit” gumam Lina.
Hujan masih mengguyur hingga beberapa jam kemudian. Lina masih menunggu hingga hujan mereda. Akhirnya, ia putuskan untuk beranjak pergi, karena hujan hanya menyisakan rintik-rintik air. Lina melangkahkan kakinya menuju sebuah minimarket, ia hendak membeli makanan untuk mengisi perutnya yang sedari tadi sudah keroncongan. Ketika Lina hendak membayar, baru saja ada seorang laki-laki yang pergi dengan meninggalkan bukunya. Buku itu sangat tidak asing baginya. Ia segera berlari dengan mendekap erat buku itu, berusaha menemukan laki-laki yang meninggalkan buku itu.
            Kesana kemari Lina mencari, namun ia tak menemukan sosok yang sempat dilihatnya sekilas. Ia berjalan dengan cepat hingga tak melihat apa yang ada di depannya.
BRUKK!!
“Ahh.. sakit!” erang Lina yang terjatuh karena bertabrakan dengan seseorang.
“Maafkan aku, Nona! Apakah Anda tidak apa-apa? Maaf, aku sedang buru-buru”
“Iya, tidak apa-apa” Lina berusaha bangkit, ia baru menyadari bahwa laki-laki itulah yang ia cari.
“Maaf, apakah ini bukumu? Buku yang kau tinggalkan di minimarket tadi.”
“Waahh.. Benar sekali, itu adalah bukuku, aku terburu-buru karena ada telepon. Sampai-sampai aku  meninggalkan buku ini. Terimakasih, Nona, aku sangat menyukai buku ini, aku sudah membacanya berulang kali. Aku takut kalau buku ini hilang.”
“Buku itu, karangan LeeNa?”
“Ya, benar. Apakah kau juga penggemarnya? Aku benar-benar penasaran siapa LeeNa itu, karena dia begitu misterius, hanya ada sedikit keterangan di bukunya. Aku harap aku bisa bertemu dengannya dan menayakan padanya semua yang ada di bukunya”
Lina tersenyum simpul “Ya, aku juga berharap begitu.”
“Maaf, aku harus segera pergi, terimakasih karena sudah mengembalikan bukuku. Terimakasih.” Laki-laki itu bergegas pergi.
Lina kembali melangkah, hendak pulang ke rumahnya. “Siapa ya laki-laki itu, kenapa rasanya seperti aku pernah melihatnya?” gumam Lina.
Menulis di perpustakaan memang menyenangkan, itulah yang dipikirkan oleh Lina. Sudah sejak setahun lalu Lina selalu menulis di perpustakaan. Ketika ia kehabisan ide, atau sedang lelah menulis, maka ia akan membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. Ya, Lina adalah gadis yang senang menulis dan membaca. Seperti saat ini, Lina sedang berkeliling perpustakaan mencari buku untuk dibacanya. Nampaknya Lina sudah lelah menulis selama 2 jam. Tanpa diduga, laki-laki itu juga ada di perpustakaan yang sama dengan Lina. Mulailah mereka berkenalan, dan membicarakan banyak hal. Barulah Lina tahu bahwa laki-laki itu adalah penyanyi Korea yang cukup terkenal, Seo In Woo.
Semenjak pertemuan itu, In Woo merasa ada sesuatu didalam diri Lina yang membuatnya tertarik. Lina mengenakan kain penutup pada rambutnya, sama seperti tokoh yang ada dalam novel karangan LeeNa. Dan itu benar-benar membuat In Woo penasaran. In Woo sendiri tidak tahu mengapa, tetapi In Woo selalu ingin melihat wajah cantik Lina dan ia pun merasa akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam hidupnya yang muncul setelah ia membaca novel karangan LeeNa. Akhirnya, In Woo putuskan untuk mendekati Lina. Setiap hari mereka berkirim pesan singkat, Lina selalu mengirimkan rangkaian kata-kata indahnya sebagai penyemangat untuk In Woo.
Bersemangatlah untuk hari ini, tersenyumlah kepada dunia karena tersenyum adalah ibadah yang paling sederhana. Jangan pernah takut untuk melakukan hal-hal baik, karena akan selalu ada yang mencatatnya untukmu J
In Woo tersenyum memandangi layar ponselnya, sayangnya ia tidak bisa langsung membalasnya karena ia harus segera tampil di panggung.Lama kelamaan, hubungan mereka menjadi semakin dekat, In Woo menjadi semakin yakin atas perasaanya terhadap Lina. Tapi bagaimana dengan Lina? Apakah Lina merasakan hal yang sama dengan In Woo? Ya, Lina juga memiliki perasaan terhadap In Woo. Hanya saja, Lina menepis perasaan itu, dan berusaha untuk menghapusnya. Namun, In Woo tetap memberanikan dirinya.  In Woo berniat untuk menyatakan cintanya.
“Lina, selama ini kita sudah begitu dekat. Dan sepertinya aku, mmm… aku memiliki perasaan terhadapmu. Dan aku harap kau juga memiliki perasaan yang sama” In Woo masih nampak gugup bahkan setelah ia menyatakan perasaannya.
“Maaf, In Woo. Tapi aku tidak bisa. Kau belum bisa menjadi pendampingku” Lina beranjak pergi meninggalkan In Woo yang masih diam mematung.
“Linaaaa….” Barulah In Woo memanggil nama Lina setelah ia tak lagi nampak dalam pandangan In Woo.
Penolakan itu membuat In Woo kesal dan bingung, apa yang belum ada pada diri In Woo hingga ia belum pantas untuk Lina. Ia kaya, tampan, terkenal, lalu apa yang kurang?  Karena penolakan itu, In Woo berniat untuk menghapus Lina dari ingatannya, namun seberapa besar pun ia mencoba, ia tetap tidak bisa. Malahan, In Woo selalu memimpikan Lina memakai pakaian serba putih dengan wajahnya yang begitu bercahaya.
            Ketika In Woo sedang tidak ada jadwal manggung, ia memilih untuk pergi mencari Lina. Namun tidak untuk bertemu dengannya, ia hanya mengikuti Lina dan melihatnya dari kejauhan. Saat itu Lina sedang berjalan menuju masjid Itaewon, hendak melaksanakan shalat ashar. In Woo belum pernah melihat bangunan itu, diatasnya ada tulisan besar yang ia tidak bisa membacanya. Namun, ia tetap masuk karena sangat penasaran mengapa Lina memasuki bangunan itu.
“Maaf, jika Anda ingin masuk, tolong lepas sepatu Anda” ucap seorang laki-laki
“Ahh.. ya, maafkan saya” jawab In Woo sedikit malu
Begitu In Woo memasuki bangunan itu, ia merasakan suatu ketenangan dan kesejukan yang entah darimana ia dapatkan. Dalam pandangannya, orang-orang tengah melakukan gerakan secara bersamaan dengan salah satu orang sebagai pemimpinnya. Dan para wanita mengenakan kain panjang yang menutupi seluruh tubuhnya.  In Woo hanya duduk terpaku di sudut masjid itu, memejamkan mata mendalami ketenangan yang ia rasakan.
Sudah 1 bulan sejak kebiasaannya mengikuti Lina, In Woo pun selalu datang ke bangunan itu yang kini sudah ia ketahui namanya, bangunan itu adalah masjid, tempat beribadah untuk umat Muslim. In Woo kembali teringat pada novel karangan LeeNa : di bangunan bercahaya itu, orang-orang menyampaikan segala keluh kesahnya dalam setiap hembusan napas mereka.
In Woo melihat Lina yang telah beranjak keluar dari masjid, Ia hendak menyapa Lina. Tetapi sudah ada seseorang yang menyapa Lina terlebih dahulu.
“Kapan kau akan menerbitkan novel lagi? Aku sudah tidak sabar menunggu sejak aku membaca novel terakhirmu, Dalam Dekapan Rembulan.” ujar seorang perempuan
“Ya, doakan saja, semoga Allah memberi saya kemudahan untuk segera menyelesaikan novel saya.” Lina tersenyum simpul
Setelah orang itu pergi, In Woo menemui Lina. Dan suatu kejutan besar untuk In Woo, karena Lina lah penulis dari buku-buku yang selama ini begitu menyentuh kalbunya. Buku-buku yang membuatnya bertanya-tanya tentang tujuan orang hidup di dunia ini. Bahkan buku itulah yang mengantarkan In Woo dan Lina bertemu. Kini In Woo tahu mengapa dirinya belum pantas untuk Lina, Lina adalah seorang Muslim, sedangkan dirinya seorang atheis. Dalam agama Lina, tidak sah suatu pernikahan bila pasangan memiliki agama yang berbeda.
“Baiklah Lina, kalau memang itu alasannya, aku akan mengikuti agamamu.” Ujar In Woo
“Tidak In Woo, tidak. Kau tidak bisa masuk Islam karena cintamu kepadaku, tetapi masuklah Islam ketika keyakinan itu benar-benar berasal dari lubuk hatimu dan karena keinginanmu untuk mencintai Sang Pemilik Alam.” Lina segera beranjak pergi.
Lama sekali In Woo merenungkan apa yang dikatakan Lina. Berhari-hari ia menanyakan pada dirinya sendiri tentang apa yang diinginkannya. Hingga di suatu malam yang dingin, ia putuskan untuk datang ke masjid Itaewon. Ia bersujud seperti apa yang orang-orang lakukan, saat itulah cahaya melingkupi tubuh In Woo, mengukungnya. In Woo merasakan sekali sentuhan dari cahaya itu, hingga muncul pertanyaan-pertanyaan dari dirinya sendiri. Selama ini hal-hal buruk apa yang telah ia lakukan? Kenangan-kenangannya terputar, membuat In Woo merasakan sesak, membuatnya menangis. Hingga In Woo pun  tertidur dalam sujudnya.
Seseorang mengguncangkan tubuh In Woo perlahan, membangunkannya. Saat In Woo bangun langsunglah ia memeluk laki-laki itu, Father Mufti, biasa ia disapa. Ia adalah pengurus masjid Itaewon. Melalui Father Mufti, In Woo masuk Islam.Kemudian  Father Mufti memberinya nama Umar, seperti nama sahabat Rasulullah yang juga memeluk Islam setelah mendapatkan hidayah dari Allah. Father Mufti banyak bercerita tentang Lina, mulai dari kedatangan pertamanya ke Masjid Itaewon, perjuangannya untuk membangun tempat shalat di Seoul National University, tempat Lina berluliah, hingga keahlian Lina dalam merangkai kalimat-kalimat yang indah dan memasukkan nilai-nilai Islam dalam setiap bukunya.
“Ia berkata dengan semangat kepadaku kala itu, Aku ingin menjadi penulis, Father. Aku ingin berdakwah melalui tulisan-tulisanku, aku ingin orang-orang Korea menemukan Islam melalui buku–buku ku” Father Mufti tersenyum mengingat wajah Lina yang penuh kebahagiaan ketika mengucapkan itu
“Lalu, dimana Lina sekarang, Father? Apa dia pulang ke negaranya?”
“Ya, dia kembali ke Indonesia 2 minggu yang lalu karena ayahnya sakit”
“Kurasa dia pergi untuk menghindariku. Mungkin dia tidak punya perasaan terhadapku.”
“Tidak, itu tidaklah benar. Pergilah, susul dia. Dan lamarlah ia!”
In Woo tidak menyusul Lina begitu saja, selama dua bulan ia menambah pengetahuannya tentang Islam, dan menyiapkan dirinya untuk menjadi imam yang baik bagi Lina. Bertepatan dengan konsernya di Indonesia, ia datang menemui Lina, berbekal alamat yang father Mufti berikan.
Assalamu’alaikum
Waalaikumsalam… In Woo? Mengapa kau kemari?”
In Woo tersenyum “Sekarang namaku Umar. Dan aku datang untuk melamarmu, Lina.”
Lina tersenyum bahagia.

Akhirnya, mereka berdua menikah. Mereka memutuskan untuk menetap di Korea. Dengan semangat yang membara, mereka berdakwah dan menyebarkan Islam di Korea. Mereka ingin orang-orang Korea mengenal Islam dan mulai bangkit dari kejahiliyahan. Mereka tak akan menyerah meski orang-orang disana akan sulit untuk menerima Islam. Karena mereka yakin Allah akan memberikan kemudahan jika benar-benar ada kemauan dan niat yang baik dalam hati mereka dan Allah akan memberikan hidayah-Nya bagi orang-orang yang melihat dan mendengar.